Jumat, 19 Maret 2010

Download mp3 Doa-doa Haji Komplit

Silahkan downloan apapun yang anda butuhkan:

  1. Pembukaan 1
  2. Pembukaan 2
  3. Do'a keluar rumah
  4. Do'a sewaktu di atas kendaraan
  5. Do'a sewaktu kendaraan mulai bergerak
  6. Do'a masuk kota Madinah
  7. Do'a memasuki kota Makkah
  8. Do'a ketika tiba di tempat tujuan
  9. Niat umrah
  10. Do'a sesudah selesai berihram
  11. Bacaan talbiyah, salawat dan do'a
  12. Do'a masuk Masjidil haram
  13. Do'a masuk masjid Nabawi
  14. Do'a ketika melihat Ka'bah
  15. Do'a tawaf
  16. Do'a setiap perjalanan dari hajar aswat sampai rukun yamani
  17. Do'a di antara rukun yamani dan hajar aswat
  18. Do'a ketika melintasi makam Ibrahim
  19. Do'a sesudah tawaf
  20. Do'a sesudah sholat sunat di belakang makam Ibrahim
  21. Do'a sesudah sholat sunat mutlak di hijr Ismail
  22. Do'a waktu minum air zam-zam
  23. Do'a ketika hendak mendaki bukit safa sebelum mulai sa'i
  24. Do'a di atas bukit safa menghadap Ka'bah
  25. Do'a dalam perjalanan antara safa dengan marwah atau sebaliknya
  26. Do'a di antara dua pilar hijau
  27. Do'a ketika mendaki bukit marwah
  28. Do'a di bukit marwah selesai sa'i
  29. Do'a menggunting rambut
  30. Niat haji
  31. Do'a ketika berangkat ke Arafah
  32. Do'a ketika masuk Arafah
  33. Do'a melihat jabal rahmah
  34. Do'a wukuf
  35. Do'a ketika sampai di Muzdalifah
  36. Do'a ketika sampai di Mina
  37. Do'a melempar jumroh
  38. Do'a setelah melontar tiga jumroh
  39. Do'a sesudah tawaf wada'
  40. Do'a meninggalkan Madinah
  41. Do'a tiba di rumah atau kampung halaman
  42. Do'a pulang haji
  43. Do'a saat berkumpul dengan sanak saudara
  44. Do'a mohon hajinya mabrur
  45. Do'a di rumah
  46. Penutup 1
  47. Penutup 2

Download

Silahkan downloan apapun yang anda butuhkan:
  • Untuk men-download mp3 do'a-do'a haji komplit, di sini.
  • Untuk men-download foto-foto 3 dimensi 360 derajat Makkah, Madinah, Masjid-masjid, Tempat-tempat suci, di sini.

Sabtu, 06 Maret 2010

Reformasi Haji Dan Sikap Keberagamaan

Kesadaran berhaji bukan semata-mata karena perintah Allah SWT,tetapi sejatinya ibadah haji merupakan sarana yang cukup efektif dan fungsional untuk membentuk kepribadian seseorang. Joachim Wach dalam The Comparative Study of Religion, mengatakan bahwa melalui ritual (ibadah haji) manusia berusaha menetralisir kekurangan-kekurangan dirinya yang profan. Atau, meminjam istilah Von Hugel: God comes to man while man approaches God. Sejak akhir Desember lalu hingga akhir Januari, sekitar 205 ribu calon jemaah haji Indonesia mulai meninggalkan Tanah Air menuju Makkahal-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam doktrin Islam, ibadah haji yang merupakan salah satu bentuk prosesi keagamaan bercorak ritual, sesungguhnya sarat dengan nuansa reformasi, tetapi acap kali terlupakan. Tata cara formal ibadah haji, yang antara lain terdiri atas ihram, tawaf, wukuf, sa'i, dan sebagainya, seringkali dipahami oleh komunitas Muslim hanya terbatas pada dimensi fiqhiyyah semata, formalistik, atau bahkan terkesan simbolik. Artinya, seseorang dapat disebut atau dipanggil dengan gelar"haji", jika ia -- terlepas dari apakah perilaku sosial-politiknya baik atautidak -- telah melaksanakan rukun Islam kelima itu. Bila sebatas itu pemahaman kita mengenai ibadah haji, iniberarti (disadari atau tidak), sebenarnya kita telah mereduksi bagian-bagianyang sangat fundamental dari fungsi ibadah haji sebagai simbol kepasrahanterhadap perintah Allah SWT, dan sekaligus mendukung aspek pembinaan jiwa,moral, dan sosial menjadi hanya sebatas anjang sana spiritual belaka dan pelipur lara bagi mereka yang kaya. Lalu, bagaimana agar ibadah haji itu benar-benar berkualitas(mabrur), tidak sia-sia, sekaligus reformatif terhadap perilaku dan sikap keberagamaan kita sehari-hari? Di sinilah dibutuhkan pemahaman yang cukup komprehensif dan integral terhadap dimensi-dimensi yang melekat pada ibadah haji itu sendiri, yaitu dimensi teologis dan sosial.

Mengapa Berhaji?
Mengapa seseorang mau melaksanakan ibadah haji? Secaranormatif-teologis, mungkin kita akan menjawab, bahwa seseorang mau melaksanakan ibadah haji karena hal itu merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada para hamba-Nya yang memiliki kemampuan(istitha'ah) baik secara fisik maupun finansial. Allah SWT berfirman : "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Mekkah)." (QS. 3:97). Ini berarti, kesadaran untuk melaksanakan ibadah haji bukannya datang dari dalam diri manusia, tetapi dari luarmanusia. Dalam konteks ini, Allah SWT berposisi sebagai subyek dan manusiamenjadi obyek. Kalau pemahaman kita demikian, maka ibadah haji tidak akan banyak memberikan implikasi kepada pribadi seseorang. Karena itu, perlu pendekatan psikis dalam arti bahwa kesadaran berhaji bukan semata-mata karena perintah Allah SWT, tetapi sejatinya ibadah haji merupakan sarana yang cukup efektif dan fungsional untuk membentuk kepribadian seseorang.Joachim Wach dalam The Comparative Study of Religion, mengatakan bahwa melalui ritual (ibadah haji) manusia berusaha menetralisir kekurangan-kekurangan dirinya yang profan. Atau, meminjam istilah Von Hugel: God comes to man while man approaches God.

Bila kita cermati lebih lanjut, ternyata di dalam ibadah haji terdapat nilai-nilai yang positif sekaligus reformatif bagi peningkatan kualitas perilaku seseorang, baik secara vertikal (kesalehan individual) maupun horisontal (kesalehan sosial). Pertama, pada saat memakai pakaian ihram, yang pelaksanaannya jauh dari nuansa kesemarakan, keglamoran atau kemegahan duniawi. Dengan warna pakaian yang sama (putih), tanpa perhiasan, wangi-wangian, dan tanpa pelindung dari sengatan terik matahari, seseorang seakan diingatkan kembali kepada fitrah dan makna hidupnya yang meliputi aspek eksoteris dan esoteris. Secara simbolik, ini bermakna bahwa ketika berhaji manusia harus mencopot pakaian kebesarannya. Pakaian sehari-hari yang menciptakan "keakuan"berdasarkan ras, suku, warna kulit, eselon kepangkatan, dan semacamnya, harus ditanggalkan dan diganti dengan pakaian "ihram" yang sederhana, tidak membedakan kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat, dan status sosial lainnya. Egoisme "keakuan" lebur dalam "kekitaan", kebersamaan, kesamaan sebagai manusia yang hadir, berada dan menuju hanya kepada Sang Pencipta. Kedua, pada saat tawaf dan wukuf di Arafah, seseorang harus melakukannya secara bersama-sama dengan jutaan orang dari berbagai pelosok dunia, suatu peristiwa yang tidak akan dialami pada kesempatan-kesempatan lain.

Dalam kerumunan manusia yang menyemut itu, seseorang akan merasa betapa kecil arti dirinya, sebab dari jutaan orang itu, tidak satu pun yang menarik perhatian pribadi secara khusus. Mereka adalah sama. Secarasimbolik, ini bermakna bahwa seseorang harus mampu menghargai dirinya secara sehat dan benar, bahwa di samping kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, terdapat pula kekurangan-kekurangan jika dibandingkan dengan sekian banyakorang yang ada di sekelilingnya. Ketiga, pada saat sa'i, seseorang diingatkan kembali pada peristiwa pengorbanan istri Nabi Ibrahim, yaitu Siti Hajar dan anaknya, Ismail. Usaha dan kerja keras Siti Hajar mencari setetes air di tengah padang pasir yang terik dan tandus untuk bayinya, Ismail, tidak hanya membangkitkan sikap percaya diri dan etos kerja, tetapi juga menimbulkan rasa kagum yang pada gilirannya akan memotivasi diri mereka untuk menakar tingkat keimanannya di saat berhadapan dengan berbagai cobaan. Inilah makna simbolik dari prosesi sa'i. Keempat, akhlak kepada Allah SWT. Jika disimak secara cermat, seluruh doa yang diucapkan dalam prosesi ibadah haji, baik yang berisipujian maupun pengakuan akan kelemahan diri serta komitmen kesetiaan, mencerminkan ketinggian akhlak kepada Allah SWT. Di sini, segala pengorbanan dalam melaksanakan ibadah haji (berupa biaya, waktu, tenaga, penderitaan,dan lain-lain) dihayati sebagai sebuah persembahan dan ekspresi kesetiaanserta loyalitas terhadap perintah-Nya. Kelima, akhlak kepada sesama manusia. Inti dari akhlak kepada sesama manusia yang diekspresikan dalam ibadah haji adalah prinsip egalitarian dan solidaritas sosial. Digunakannya pakaian serba putih, larangan menggunakan perhiasan dan wewangian, secara simbolik mengindikasikan persamaan derajat dan antidiskriminasi sosial. Adanya kewajiban berkorban (menyembelih binatang yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin), merupakan cermin anjuran solidaritas sosial untuk mereka yang secara ekonomis dan politis selalu tertindas dan dizalimi. Keenam, akhlak kepada lingkungan hidup. Dalam konteks ini, sebagian prosesi ibadah haji mengajarkan kepada umat manusia tentang pentingnya menjaga kelestarian ekologi dan keseimbangan ekosistem. Inilah salah satu keunikan ibadah haji yang tidak akan bisa ditemukan dalamibadah-ibadah lainnya. Dalam kondisi ihram, misalnya, seorang jamaah haji dilarang merusak alam, meskipun sekedar mencabut sebatang rumput atau membunuh seekor semut. Jika hal itu dilakukan, maka akan berakibat serius terhadap kesempurnaan ibadah hajinya.

Gelar Haji
Menarik dicermati apa yang pernah dikatakan oleh Syekh Abdul Badi Ghazi, pemikir Muslim berkebangsaan Mesir, bahwa penggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah, akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi. Dari sini, kemudian seorang guru besar Universitas Al-AzharKairo, Dr Sayyid Razak Thawil, mengusulkan dan menolak pemakaian gelar haji bagi yang telah melaksanakan ibadah itu. Alasannya, karena pada zaman Rasulullah SAW, sahabat, bahkan tabi'in, gelar haji itu tidak pernah ditemukan. Bagi sebagian kalangan kita, mungkin pendapat tersebut terkesan berlebihan, karena gelar haji dianggap sebagai simbol dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Persoalannya, sudahkah saudara-saudara kita yang kini mengenakan atribut "Bapak Haji" dan "Ibu Hajjah" yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan itu mampu berbuat sesuatu secara signifikan bagi perubahahan masyarakat ke arah yang lebih baik? Kalau belum, maka dari pendapat Sayyid Razak di atas, kita seolah diingatkan bahwa sejatinya makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf "H" atau "Hj" di muka nama seseorang. Tetapi, pada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatannya yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kemabruran substansial dari ibadah haji adalah ketika yang bersangkutan mampu meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah. Tanpa adanya "bekas" kesalehan yang disimbolkan dalam prosesi ibadah haji seperti tersebut di atas, kiranya usulan guru besar Universitas Al-Azhar Kairo itu, mungkin ada baiknya dipertimbangkan untuk dijadikan semacam "fatwa" yang resmi dan harus diikuti. Walhasil, bahwa ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya. Akan tetapi, sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan itu membekas dalam hati, lalu terrefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, ibadah haji sejatinya merupakan upacara inisiasi untuk melahirkan kembali seorang manusia dengan kualitas pribadiyang sama sekali baru. Di sinilah nuansa reformasi tampak dalam ibadah haji, terutama reformasi sikap keberagamaan.